DENPASAR - Keluarga Puri di Denpasar angkat bicara soal santernya pemberitaan tentang penyegelan kantor hukum Lembaga Advokasi Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) di kompleks Badak Agung C1 Renon, Denpasar.
Menemui Dr. Anak Agung Ngurah Gede Dharmayuda M.Kes (Turah Dokter) Puri Belaluan Denpasar, di kompleks Badak Agung menyebutkan keluarga besar Puri se-Kota Denpasar memberikan dukungan Puri Agung Denpasar selaku pewaris yang ditunjuk mengelola lahan di Jalan Badak Agung seluas 12 hektar.
" Saya cukup sedih mendengar pemberitaan (dumas) yang ada, kita keluarga besar. Saya berada disini karena adanya tanggung jawab moral juga sebagai 'warih' (keturunan) dari Puri Agung Denpasar dengan Putra - putra Puri, dengan tujuan bisa selesai dengan benar, " ujarnya, Rabu (18/07/2023).
*Pengaduan Masyarakat (Dumas) Nomor: 120/V/2023/SPKT.UNIT RESKRIM/POLSEK DENTIM/POLRESTA DPS / POLDA BALI, Tertanggal 20 Mei 2023.
Ia juga menekankan apapun permasalahannya pihaknya menginginkan tetap kompak dan mendukung berdiri tegaknya puri dan pura. Ia juga melihat pemberitaan yang ada selama ini sifatnya hanya sepihak.
" Ini harus selesai dengan cara yang tepat benar dan seadil - adilnya "
" Sehingga saya sebagai keluarga memberikan dukungan penuh terhadap proses yang sedang terjadi saat ini. Dukungan moril pasti, doa pasti, supaya tidak mengganggu keutuhan kita bersama. Kita akan terus mengawal, ” bebernya.
Dirinya menegaskan keinginannya adalah keutuhan keluarga besar, tetapi semua itu kembali kepada tugas tanggung jawab yang sudah diberikan.
" Kalo didetailkan tentu rumit, intinya saya memiliki tanggung jawab moral terhadap permasalahan yang ada, agar berjalan sesuai dengan kebenaran yang ada "
Ditambahkan lagi oleh penglingsir Puri Belaluan, Anak Agung Ngurah Agung, Ia menceritakan asal muasal lahan di Badak Agung, Laba Pura Merajan Satria seluas 12 hektar sudah dimohonkan sertifikat oleh almarhum, Tjokorda Ngurah Mayun Samirana (sebelum jadi raja) pada tahun 1991 terdiri dari 32 sertifikat.
“Jadi lahan ini sudah dimohon sertifikat oleh almarhum Raja Denpasar IX Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, " terangnya yang merupakan mantan pegawai Pajak Bumi dan Bangunan Kota Denpasar.
Lanjut berbincang dengan Anak Agung Ngurah Mayun Wiraningrat (Turah Mayun) selaku ahli waris yang dikatakan membawa preman, ia menolak bahwa itu merupakan karyawannya.
" Itu yang jaga pagi dan jaga malam, berdua saja "
Ia malah balik menanyakan yang disebut premanisme itu apa.
" Omong kosong apa itu, itu fitnah. Tidak ada itu "
Ditanya soal meminta sejumlah uang, ini lebih aneh lagi, dirinya menegaskan bahwa ia menuntut apa yang masih menjadi haknya.
" Ada pembelian disebelahnya, jadi wajar saya minta. Kalo tidak berkabar kan sepertinya saya memberikan cuma - cuma dia, kan itu salah saya kasih peringatan "
" Tidak benarlah saya memeras itu apalagi meminta - minta, harusnya dia tahu diri sudah menyelesaikan kewajibannya belum, ya seperti itu, " ujar Turah Mayun.
Sementara, Inti selaku pengelola kompeks Badak Agung yang juga dilaporkan ke polisi, menerangkan bahwa itu belum laporan polisi, masih Dumas. Ia juga menceritakan dirinya mendampingi almarhum sebagai saksi saat melakukan perjanjian dengan pelapor (Made Suardana-red).
Dimana pelapor waktu itu bersedia membantu pengurusan lahan di Badak Agung. Muncul masalah karena pelapor tidak komitmen sesuai dengan yang ada di perjanjian, sehingga ahli waris almarhum memberi peringatan.
" ya, seperti ungkapan ahli waris. Selama ini tidak ada komunikasi menyangkut kewajiban, terjadilah penyegelan di kantor bantuan hukum Blok1C. Jadi tidak ada pemerasan dan aksi premanisme. Ini murni dia tidak kerja, mau gratisan sehingga disegel, ” kata Inti sembari menjelaskan di perjanjian itu (pelapor) harus kerja.
“Jadi harus kerja. Berhasil atau tidak, kita tetap bayar. Masalahnya, dia tidak kerja. Sama sekali tidak kerja, sehingga tidak dibayar atau diberikan upah, ” tegas Inti.
Kemudian menghubungi I Made ' Ariel ' Suardana, di beberapa media sosial menjawab kasus ini berawal dari pengakuan sang raja bahwa dia adalah pemilik tanah di Badak Agung seluas 12 Hektar namun tidak bisa dipecah karena diintervensi oleh Walikota Denpasar I Gusti Jaya Negara lalu dia meminta saya untuk mengurus kasus itu namun mengatakan tidak punya uang dan menyerahkan tanah sebagai biaya operasional untuk tindakan hukum di Pengadilan dan diluar pengadilan.
Hal itu tertuang dalam Surat Perjanjian tertanggal 24 Maret 2022.
Dalam perjalanan kasus itu sudah diajukan Penetapan ke Pengadilan sebagai pengempon tunggal namun oleh pengadilan dikatakan permohonan ini tidak bisa dikabulkan karena mengandung sengketa.
Selanjutnya diurus di BPN Denpasar kemudian diperoleh fakta bahwa tanah laba Merajan Satriya itu milik 24 orang jadi bukan milik Raja Ida Tjokorda Samirana (Alm) semata hal itu berdasarkan Akta No. 19 Tahun 2012 yang dibuat dihadapan Notaris / PPT I Nyoman Indrawati SH., MK.N.
Kemudian Inti (terlapor) mengeluarkan
pernyataan yang tak masuk akal yaitu meminta SPJ pengeluaran Odalan Puri Satriya yang menurut saya tidak relevan.
Sampai akhir Raja Denpasar meninggal dunia. Tak lama kemudian Kantor Kami disegel dengan aksi Premanisme oleh utusan Ngurah Mayun (terlapor dan
INTI (terlapor). Kemudian belakangan NTI dan Ngurah alibi untuk memperburuk citra Pengacara dengan
mengatakan kami tidak bekerja.
Perdamaian yang sudah berjalan pun diabaikan oleh Ngurah Mayun saat kami datang ke Puri Satriya tanggal 19 Mei 2022 dan mengatakan tidak akan mau
berdamai, tulisnya di IG terbuka untuk umum. (Ray)